Tahukah
Anda bahwa Anda dapat mendurhakai anak sebelum anak mendurhakai Anda?
Terdapat 3 hak anak yang harus seorang Ayah penuhi, yakni;
1. Memilih Ibunya
Anak harus mendapatkan hak untuk mendapat ibu yang baik. Hati-hati bagi
Anda yg memilih istri hanya dari kecantikan fisik semata. Anda harus
memastikan bahwa istri Anda nantinya cukup mampu untuk mendidik dan
mengurus anak. Bila anak terbengkalai, Anda telah mendurhakainya karena
sebelumnya telah memilih Ibu yg salah untuknya.
2. Mempunyai Nama yg Baik
Kalau Romeo mengatakan "Apalah arti sebuah nama?" dia salah. Karena
nama dapat sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Nama yg baik dan
indah membuat pemiliknya merasa percaya diri dan memiliki arti dalam
hidupnya.
3. Mengajarkan Agama
Anak yang tumbuh dalam suasana
keluarga religius akan berperilaku baik dan tumbuh dalam prestasi yg
positif. Anak akan menyayangi lingkungannya maupun dicintai oleh
lingkungannya
Kita -para bapak- seharusnya banyak bercermin.
Anda pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepada
Anda. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kita bertanya
apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kita marah kepada
mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak
kita. Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah
yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan
mereka.
Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa
memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang
lebih besar. Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan
mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yang kita
inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai
orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup
kelayakan untuk ditaati. Kita ingin mereka mengerti keinginan orangtua,
tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa
anak.
Pendidikan yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk
memuaskan diri kita, atau sekedar membebaskan kita dari kesumpekan
lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan,
ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika
anak itu sendiri belum lahir.
Terkadang orangtua sudah lama
merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tentang anak
seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan
perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak.Terlebih
ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang sudah terlalu
panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak
kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan
harapannya.
Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka
anak itupun diperlakukan seperti perempuan, sehingga ia berkembang
sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan
kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah memiliki anak. Ketika
anaknya sudah menjadi orangtua.
Kejadian semacam ini tidak
hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan,
kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang
terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah,
anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang
harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebabnya.
Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap
saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun
rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa
seperti tamu asing di rumahnya sendiri.
Saya teringat dengan
cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia
menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak
jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris
tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan
penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun
sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan; dipulangkan
ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti
anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua.
Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.
Staf
dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah
kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata
memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan
ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka
sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: "perasaan"
Melihat anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata
haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat,
“Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat
ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.
Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua
saat anak itu kembali meninggalkan rumah. Yang ada hanyalah perasaan
yang remuk pada diri anak.
Di saat ia ingin dididik oleh
orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap
sangat kasar. Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan
menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu,
pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar
biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran
akan beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada
pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya
yang durhaka.
Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara
sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan
yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat
tinggal, padahal orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan
kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi,
orangtuanya ternyata anggota dewan sebuah daerah.
Apa yang
terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada
hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan,
tetapi harus kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah. Hilangnya
kesabaran menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara
keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh
keturunan. Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi
alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan
kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.
Dulu,
sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak
setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua
mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan
satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak. Dulu
orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak
orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya.
Anak adalah titipan Tuhan yg dapat membela kita (orangtua) di akhirat
kelak. Jangan sampai anak dikorbankan untuk kepentingan dunia.
Silakan like dan share agar kita semua menjadi keluarga yg penuh cinta kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar